Sang gadis adalah seseorang yang telah disukainya sejak masih di bangku SMA. Namun mereka hanya sebatas bersahabat, tidak ada ikatan apapun.
Berikut kisah lengkapnya:
Pemuda : Assalamualaikum.
Ayah Gadis : waalaikumussalam!
Mendengar lantangnya suara Ayah si gadis, si pemuda kaku membatu. Lantas si gadis mempersilahkan sahabat sekolahnya itu untuk duduk di kursi ruang tamu.
Gadis : Mari, silahkan duduk
Pemuda : eh.,iyaa
Setelah mengucapkan salam dan berjabat tangan, duduklah si Pemuda di kursi yang hampir menghadap Ayah si gadis. Hanya koran yang menjadi ‘sitroh’ antara mereka.
Hampir 5 menit suasana senyap tanpa suara. Dan ibu si gadis keluar dari ruang belakang membawa air dan kue kering. Si Pemuda pun tersenyum manis.
Ibu Gadis : Silahkan diminum dulu nak. Kamu sudah sarapan?
Pemuda : Sudah Bu. Terima kasih.
Ibu Gadis : kamu ini malu-malu segala dengan kami.
Pemuda : saya hanya segan Bu. Hehe
Ayah Gadis : Maaf, saya lihat kamu ini sudah sering kemari, kapan kamu mau mengirim rombongan (lamaran)?
Ibu Gadis : eh, ayah ini?
Pemuda : Hmm. Saya belum memiliki banyak uang Pak. Hehe
Ayah Gadis : Ya kumpulin dulu dong, baru nanti kesini lagi.
Pemuda : bapak dan ibu ingin saya menyediakan uang berapa untuk lamaran ini?
Ibu Gadis : kalau bisa Rp.20.000.000,-
Ayah Gadis : ehh, tapi kalau bisa lebih besar dari orang sebelah yang naksir juga sama gadis.
Pemuda : Maaf, Berapa itu Bu?
Ayah Gadis : Rp.40.000.000,- syukur-syukur bisa lebih
Pemuda : (Ya Allah, whhooa.. Rp.40.000.000.000.000,- darimana saya dapat uang sebanyak itu, aduh) Besar sekali Pak, apakah tidak bisa lebih sedikit, kita buat acara sederhana saja. Cukup mengudang keluarga, saudara dan tetangga dekat?
Ayah Gadis : itu nasib kamu nak, kamu yang akan menikahi anak kami. Lagipula dialah satu-satunya anak perempuan kami.
Si Pemuda pun hampir hilang akal ketika disebutkan ‘harga’ si gadis itu. Dan si Pemuda mencoba kembali berdiskusi dengan orang tua gadis pujaan hatinya.
Pemuda : Boleh saya bertanya lagi, apakah anak bapak pandai memasak?
Ayah Gadis : Hmm,.boro-boro. Bangun tidur saja jam 10 lebih, bukan bangun pagi lagi itu. Habis bangun terus langsung makan siang.
Ibu Gadis : Apa sih ayahnya ini, anaknya mau dijadikan istri, dia malah cerita yang jelek-jelek.
Ayah Gadis : Ibunya pun sama suka terlambat bangun juga.
Ibu Gadis : ih ayah ini!
Pemuda: (bengong) Ehh.. iya cukup pak, sekarang saya sudah tau. Kalau boleh bertanya lagi, bisa kah dia membaca Qur’an?
Ibu Gadis: bisa sedikit-sedikit kok
Pemuda : belajar dengan maknanya?
Ibu Gadis : mungkin.
Pemuda : Hmm.
Ibu Gadis : kenapa?
Pemuda : Oh, tidak apa – apa bu. Pertanyaan terakhir, apakah dia rajin sholat?
Ayah Gadis : Apa maksud kamu tanya semua ini !? Kamu kan temannya sejak di sekolah. Harusnya kamu sudah tahu.
Pemuda : Maaf Bapak dan Ibu, Saya rasa dia tak bisa masak, tak bisa sholat, tak bisa mengaji, tak bisa menutup aurat dengan baik. Sebelum dia menjadi istri saya, dosa-dosanya juga akan menjadi dosa bapak dan ibu. Lagipula tak pantas rasanya dia dihargai Rp.40.000.000,-. Kecuali dia hafidz Qur’an 30 juz dalam kepala, pandai menjaga aurat, diri, dan batasan-batasan agamanya. Barulah dengan mahar Rp.100.000.000,-pun saya usahakan untuk membayar.
Tapi jika segala sesuatunya tidak harus dibayar mahal mengapa harus dipaksakan untuk dibayar mahal ? Seperti halnya mahar. Sebab sebaik-baik pernikahan adalah serendah-rendah mahar.
Mata ayah si gadis direnung tajam oleh mata ibu si gadis. Keduanya diam tanpa suara.
Sekarang ketiganya menundukkan kepala. Memang sebagian adat menjadikan anak perempuan untuk dijadikan objek pemuas hati menunjukkan kekayaan dan bermegah-megah dengan apa yang ada, terutama pada pernikahan. Adat budaya memang kerap mengalahkan perkara agama. Para orang tua membiarkan bahkan menginginkan anak perempuan dihias dan dibuat pertunjukkan di muka umum.
Sedangkan pada saat akad telah dilafadz oleh suami, segala dosa anak perempuan sudah mulai ditanggung oleh si suami.
Ayah Gadis : Aku hanya ingin anakku bahagia dengaia dengan merasakan sedikit kemewahan. Hal seperti tu kan hanya terjadi sekali seumur hidup.
Pemuda : Bapak ingin anak bapak merasakan kemewahan?
Ibu Gadis : tentulah kami berdua pun turut gembira.
Pemuda : sungguh demikian? boleh saya sambung lagi? bapak, ibu.. saya bukanlah siapa – siapa. Sekarang dosa anak Bapak, Bapak juga yang tanggung. Esok lusa setelah akad nikah terus dosa dia saya yang tanggung.
Belum lagi pasti bapak dan ibu ingin kami bersanding lama di pelaminan yang megah, anak Ibu dirias dengan riasan secantik-cantiknya dengan make up dan baju paling mahal, di hadapan ratusan undangan agar kami terlihat mewah pula. Salain setiap mata yang memandang kami akan mendapat dosa. Apakah begitu penting hal tersebut jika dalam kehidupan sehari-hari kita malah berusaha untuk hidup sesederhana mungkin tanpa berlebih-lebihan.
Ibu si gadis segera mengambil langkah mudah dengan menarik diri dari pembicaraan itu. Si ibu tahu, si pemuda berbicara menggunakan fakta islam. Dan tidak mungkin ibu si gadis dapat melawan kata si pemuda itu.
Ayah Gadis : Kamu mau berbicara mengajari masalah agama di depan kami?
Pemuda : ehh. maaf pak. Bukan saya hendak berbicara / mengajari masalah agama. Tapi itulah hakikat. Terkadang kita terlalu memandang pada adat sampai lupa agama.
Ayah Gadis : sudah lah. Kamu sediakan Rp.40.000.000,- kemudian kita bicarakan lebih lanjut. Kalau tidak ada, kamu tak bisa menikahi anakku!
Pemuda : Semakin lama lah hal itu. Mungkin di umur saya 30 atau lebih, saya baru bisa mengumpulkan uang tersebut dan bisa masuk meminang anak bapak.
Baiklah, kalau memang bapak berharap tetap demikian, maka ’izinkan saya berzina dengan anak bapak’?
Mendengan ucapan lantang pemuda itu, Sang Ayah pun berang dan terlihat ingin menempeleng muka pemuda tersebut.
Ayah Gadis : Hei! Kamu sudah keterlaluan! jaga baik-baik mulut kamu itu.
Berikut kisah lengkapnya:
Pemuda : Assalamualaikum.
Ayah Gadis : waalaikumussalam!
Mendengar lantangnya suara Ayah si gadis, si pemuda kaku membatu. Lantas si gadis mempersilahkan sahabat sekolahnya itu untuk duduk di kursi ruang tamu.
Gadis : Mari, silahkan duduk
Pemuda : eh.,iyaa
Setelah mengucapkan salam dan berjabat tangan, duduklah si Pemuda di kursi yang hampir menghadap Ayah si gadis. Hanya koran yang menjadi ‘sitroh’ antara mereka.
Hampir 5 menit suasana senyap tanpa suara. Dan ibu si gadis keluar dari ruang belakang membawa air dan kue kering. Si Pemuda pun tersenyum manis.
Ibu Gadis : Silahkan diminum dulu nak. Kamu sudah sarapan?
Pemuda : Sudah Bu. Terima kasih.
Ibu Gadis : kamu ini malu-malu segala dengan kami.
Pemuda : saya hanya segan Bu. Hehe
Ayah Gadis : Maaf, saya lihat kamu ini sudah sering kemari, kapan kamu mau mengirim rombongan (lamaran)?
Ibu Gadis : eh, ayah ini?
Pemuda : Hmm. Saya belum memiliki banyak uang Pak. Hehe
Ayah Gadis : Ya kumpulin dulu dong, baru nanti kesini lagi.
Pemuda : bapak dan ibu ingin saya menyediakan uang berapa untuk lamaran ini?
Ibu Gadis : kalau bisa Rp.20.000.000,-
Ayah Gadis : ehh, tapi kalau bisa lebih besar dari orang sebelah yang naksir juga sama gadis.
Pemuda : Maaf, Berapa itu Bu?
Ayah Gadis : Rp.40.000.000,- syukur-syukur bisa lebih
Pemuda : (Ya Allah, whhooa.. Rp.40.000.000.000.000,- darimana saya dapat uang sebanyak itu, aduh) Besar sekali Pak, apakah tidak bisa lebih sedikit, kita buat acara sederhana saja. Cukup mengudang keluarga, saudara dan tetangga dekat?
Ayah Gadis : itu nasib kamu nak, kamu yang akan menikahi anak kami. Lagipula dialah satu-satunya anak perempuan kami.
Si Pemuda pun hampir hilang akal ketika disebutkan ‘harga’ si gadis itu. Dan si Pemuda mencoba kembali berdiskusi dengan orang tua gadis pujaan hatinya.
Pemuda : Boleh saya bertanya lagi, apakah anak bapak pandai memasak?
Ayah Gadis : Hmm,.boro-boro. Bangun tidur saja jam 10 lebih, bukan bangun pagi lagi itu. Habis bangun terus langsung makan siang.
Ibu Gadis : Apa sih ayahnya ini, anaknya mau dijadikan istri, dia malah cerita yang jelek-jelek.
Ayah Gadis : Ibunya pun sama suka terlambat bangun juga.
Ibu Gadis : ih ayah ini!
Pemuda: (bengong) Ehh.. iya cukup pak, sekarang saya sudah tau. Kalau boleh bertanya lagi, bisa kah dia membaca Qur’an?
Ibu Gadis: bisa sedikit-sedikit kok
Pemuda : belajar dengan maknanya?
Ibu Gadis : mungkin.
Pemuda : Hmm.
Ibu Gadis : kenapa?
Pemuda : Oh, tidak apa – apa bu. Pertanyaan terakhir, apakah dia rajin sholat?
Ayah Gadis : Apa maksud kamu tanya semua ini !? Kamu kan temannya sejak di sekolah. Harusnya kamu sudah tahu.
Pemuda : Maaf Bapak dan Ibu, Saya rasa dia tak bisa masak, tak bisa sholat, tak bisa mengaji, tak bisa menutup aurat dengan baik. Sebelum dia menjadi istri saya, dosa-dosanya juga akan menjadi dosa bapak dan ibu. Lagipula tak pantas rasanya dia dihargai Rp.40.000.000,-. Kecuali dia hafidz Qur’an 30 juz dalam kepala, pandai menjaga aurat, diri, dan batasan-batasan agamanya. Barulah dengan mahar Rp.100.000.000,-pun saya usahakan untuk membayar.
Tapi jika segala sesuatunya tidak harus dibayar mahal mengapa harus dipaksakan untuk dibayar mahal ? Seperti halnya mahar. Sebab sebaik-baik pernikahan adalah serendah-rendah mahar.
Mata ayah si gadis direnung tajam oleh mata ibu si gadis. Keduanya diam tanpa suara.
Sekarang ketiganya menundukkan kepala. Memang sebagian adat menjadikan anak perempuan untuk dijadikan objek pemuas hati menunjukkan kekayaan dan bermegah-megah dengan apa yang ada, terutama pada pernikahan. Adat budaya memang kerap mengalahkan perkara agama. Para orang tua membiarkan bahkan menginginkan anak perempuan dihias dan dibuat pertunjukkan di muka umum.
Sedangkan pada saat akad telah dilafadz oleh suami, segala dosa anak perempuan sudah mulai ditanggung oleh si suami.
Ayah Gadis : Aku hanya ingin anakku bahagia dengaia dengan merasakan sedikit kemewahan. Hal seperti tu kan hanya terjadi sekali seumur hidup.
Pemuda : Bapak ingin anak bapak merasakan kemewahan?
Ibu Gadis : tentulah kami berdua pun turut gembira.
Pemuda : sungguh demikian? boleh saya sambung lagi? bapak, ibu.. saya bukanlah siapa – siapa. Sekarang dosa anak Bapak, Bapak juga yang tanggung. Esok lusa setelah akad nikah terus dosa dia saya yang tanggung.
Belum lagi pasti bapak dan ibu ingin kami bersanding lama di pelaminan yang megah, anak Ibu dirias dengan riasan secantik-cantiknya dengan make up dan baju paling mahal, di hadapan ratusan undangan agar kami terlihat mewah pula. Salain setiap mata yang memandang kami akan mendapat dosa. Apakah begitu penting hal tersebut jika dalam kehidupan sehari-hari kita malah berusaha untuk hidup sesederhana mungkin tanpa berlebih-lebihan.
Ibu si gadis segera mengambil langkah mudah dengan menarik diri dari pembicaraan itu. Si ibu tahu, si pemuda berbicara menggunakan fakta islam. Dan tidak mungkin ibu si gadis dapat melawan kata si pemuda itu.
Ayah Gadis : Kamu mau berbicara mengajari masalah agama di depan kami?
Pemuda : ehh. maaf pak. Bukan saya hendak berbicara / mengajari masalah agama. Tapi itulah hakikat. Terkadang kita terlalu memandang pada adat sampai lupa agama.
Ayah Gadis : sudah lah. Kamu sediakan Rp.40.000.000,- kemudian kita bicarakan lebih lanjut. Kalau tidak ada, kamu tak bisa menikahi anakku!
Pemuda : Semakin lama lah hal itu. Mungkin di umur saya 30 atau lebih, saya baru bisa mengumpulkan uang tersebut dan bisa masuk meminang anak bapak.
Baiklah, kalau memang bapak berharap tetap demikian, maka ’izinkan saya berzina dengan anak bapak’?
Mendengan ucapan lantang pemuda itu, Sang Ayah pun berang dan terlihat ingin menempeleng muka pemuda tersebut.
Ayah Gadis : Hei! Kamu sudah keterlaluan! jaga baik-baik mulut kamu itu.
Pemuda : dengar dulu penjelasan saya pak. Apa bapak tahu alasan orang berzina dan banyak orang memiliki anak di luar nikah? Sebab salah satunya hal seperti ini lah pak. Selalu saja orang tua perempuan menempatkan puluhan juta rupiah untuk mahar, harus menunggu si pria mempunyai pekerjaan dengan gaji begitu tinggi, sampai pihak pria terpaksa menunda keinginan untuk menikah. Tetapi cinta dan nafsu kalau tidak diwadahi dengan baik, setan yang jadi pihak ketiga untuk menyesatkan manusia.
Terlebih di zaman seperti ini yang cobaan dan kondisinya tidak seperti zaman bapak dan ibu dulu. Akhirnya mereka mengambil jalan pintas memuaskan nafsu serakah dengan berzina. Pertama memang hal yang ringan-ringan dulu pak, pegang-pegangan tangan, saling memeluk, dan sebagainya. Tapi semakin lama akan menjadi hal berat. Yang berat-berat itu bapak sendiri pun bisa membayangkan.
Ayah Gadis : Lantas apa kaitan kamu dengan hendak berzina pula !?
Pemuda : Begini logikanya. Sepertinya yang terjadi dengan anak-anak lainnya. Bapak tidak memberi izin kami menikah sekarang, biar ada berpuluh juta uang dulu baru bisa menikah.
Kami hendak melepaskan nafsu bagaimana pak? setiap harinya kami mengenal lebih dekat dan semakin dewasa. Dia meminta saya bersilataurahim kesini menemui Bapak dan Ibu. Sebenarnya dalam hati kami sudah ada perasaan, Namun kami senantiasa menjaganya hingga ‘halal’ itu tiba.Susah pak, menjaga perasaan itu.
Jika memang bapak meminta uang segitu maka dengan rendah hati saya meminta izin pada bapak untuk berzina dengan anak bapak. Terlepas apakah yang penting bapak tahu saya dan dia hendak berzina. Sebab rata-rata orang yang berzina itu orang tua tidak tau pak, tidak. Kelihatannya pemuda -pemudi zaman sekarang biasa-biasa saja padahal sebenarnya sudah pernah bahkan sering berzina. Ironisnya banyak orang menganggap hal itu tidak tabu lagi. Berzina bukan saja hal yang ehem-ehem saja. Ada zina-zina ringan, zina mata, zina lidah, zina telinga dll. Tapi sebab hal ringan itu lah yang akan menjadi berat.
Ayah Gadis : Hmm. Kamu ini omongannya muter-muter dan semakin memperumit saja. Beruntung kamu masih teman sekolah anakku. Kalau orang lain, sudah dari tadi saya tempeleng mukamu. Begini nak, Tapi kalau tidak ada uang, bagaimana kamu akan memberi dia makan??
Pemuda : Hehe. Bapak. lupakah Bapak dengan apa yang telah Allah pesankan pada kita.
“Dan menikahlah orang-orang bujang (pria dan perempuan) dari kalangan kamu, dan orang-orang yang sholeh dari hamba-hamba kamu, pria dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka. sesungguhnya karunia Allah Maha luas (rahmat dan karunianya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur 32).
Apakah kita tak yakin dengan apa yang Allah janjikan. Bapak dan Ibu juga pernah lah menjadi muda. Masalah datangnya harta, selagi kita terus berusaha itu adalah Rahmat-Nya yang sudah ditakdirkan pada tiap-tiap hamba-Nya. Lagipula pak, kalau makan dan minum itu Insya Allah, saya sanggup untuk memberikannya. Tempat tinggal bisa kita bicarakan lagi. Kalau hal ini bisa menghalangi kami dari melakukan dosa dan sia-sia. Apakah tidak lebih baik disegerakan. Bapak pun tak mau hal-hal tak tidak diinginkan terjadi.
Bapak si Gadis Diam tanpa kata, merenung kata – kata si pemuda, berusaha memikirkan cara untuk mematahkan kata-kata si Pemuda. Dan ayah si gadis mendapat akal.
Ayah Gadis : kamu tahu lah zaman sekarang ni. Kalau mengikuti cara kamu itu. Mungkin kamu tidak suka dengan acara persandingan yang mewah, Bapak bisa terima. Tapi kamu apa bisa menerima apa yang akan orang-orang katakan. Orang akan mengatakan anak aku ‘kecelakaan’ dan terpaksa menikah dengan kamu. Mau ditaruh dimana muka ini.
Pemuda : Bagus juga pikiran bapak itu. Kalau ‘kecelakaan’ mana mau saya menikahi anak bapak. Karena akan selamanya menjadi haram, orang yang zina tidak akan pernah menjadi halal sekalipun dengan pernikahan. Kalau bapak memaksa ya sudah. Bisa ikut nikah masal kan bagus juga bisa berhemat tapi tetap ramai.
Ayah Gadis : serius lah nak!
Pemuda : Begini pak, sekali lagi rasanya tidak perlu membayar puluhan juta dan mahar yang berlebihan sehingga memaksa diluar kemampuan. Tapi saya tak mengatakan tidak ada walimatul urs. Sedang walimatul urs itu tetap perlu dan disesuaikan dengan kemampuan. itu cara islam. Saya bukan hendak macam-macam dengan bapak. Syariat memang seperti itu. Maha baiknya Allah sebab masih menjaga kita selama ini, tapi hal sepele seperti ini pun kita masih memandang ringan dan kita tak percaya dengan apa yang telah Allah janjikan.
Saya benar-benar minta maaf kalau ada kata-kata saya yang membuat bapak tidak senang terhadap ucapan saya. Tidak juga bermaksud tidak ta’dzim dengan bapak dan ibu. Segalanya kita serahkan pada Allah, kita hanya bisa merencanakan saja.
Azan dzuhur berkumandang, jaraknya tidak sampai 10 rumah dengan rumah si gadis. Si pemuda memohon untuk ke surau dan mengajak bapak si untuk pergi bersama. Namun ajakan ditolak dengan lembut. Lantas sang pemuda memberi salam dan memohon untuk keluar.
Di pinggir jendela tua si gadis melihat si pemuda mengeluarkan kopiah dari sakunya dan segera di pakainya untuk memenuhi panggilan Allah.
Sedang si gadis yang sedari tadi berdiri di balik tirai bersama ibunya meneteskan air mata mendengar curahan kata-kata si pemuda terhadap ayahnya. Kerudung lebar pemberian si pemuda sebagai hadiah padanya yang lalu digenggam erat. Ibu si gadis juga meneteskan air mata melihat pada perilaku anaknya. Segera ibu dan si gadis ke ruang tamu menghadap ayahnya.
Ibu Gadis : Apa yang anak itu katakan benar. Kita ini tak pernah memperhatikan syariat-syariat agama selama ini. Terlalu melihat dunia, adat dan apa kata orang. Padahal mereka tak pernah juga peduli pada kita.
Ayah Gadis : Hmm.. entahlah, ayah tak tahu. Begitu keras yang anak itu katakan tadi. Terserah kamu aja nak mau diterima atau tidak.
Kemudian si gadis menggapai telepon genggamnya dan mengetik pesan.
Si Pemuda yang selesai mengambil wudhu tersenyum saat membaca pesan yang baru saja diterima dari si gadis,
“Andai Allah telah memilih dirimu untukku, aku ridho dan akan terus bersamamu, apapun yang ada pada dirimu dan yang kamu miliki, aku juga akan terus pada agama yang ada padamu. Minggu depan ayah menyuruh kirim rombongan (lamaran) untuk ke rumah.“
***
Terkadang kisah seperti diatas masih saja sering terjadi. Wahai kalian pemuda dan pemudi yang dirahmati Allah, jika kalian merasa telah mampu dan yakin untuk menikah. maka segerakanlah. Sungguh- sungguh merugi orang yang menunda-nunda terhadap rahmatnya Allah.
Sumber:kabarmakkah.com
Terlebih di zaman seperti ini yang cobaan dan kondisinya tidak seperti zaman bapak dan ibu dulu. Akhirnya mereka mengambil jalan pintas memuaskan nafsu serakah dengan berzina. Pertama memang hal yang ringan-ringan dulu pak, pegang-pegangan tangan, saling memeluk, dan sebagainya. Tapi semakin lama akan menjadi hal berat. Yang berat-berat itu bapak sendiri pun bisa membayangkan.
Ayah Gadis : Lantas apa kaitan kamu dengan hendak berzina pula !?
Pemuda : Begini logikanya. Sepertinya yang terjadi dengan anak-anak lainnya. Bapak tidak memberi izin kami menikah sekarang, biar ada berpuluh juta uang dulu baru bisa menikah.
Kami hendak melepaskan nafsu bagaimana pak? setiap harinya kami mengenal lebih dekat dan semakin dewasa. Dia meminta saya bersilataurahim kesini menemui Bapak dan Ibu. Sebenarnya dalam hati kami sudah ada perasaan, Namun kami senantiasa menjaganya hingga ‘halal’ itu tiba.Susah pak, menjaga perasaan itu.
Jika memang bapak meminta uang segitu maka dengan rendah hati saya meminta izin pada bapak untuk berzina dengan anak bapak. Terlepas apakah yang penting bapak tahu saya dan dia hendak berzina. Sebab rata-rata orang yang berzina itu orang tua tidak tau pak, tidak. Kelihatannya pemuda -pemudi zaman sekarang biasa-biasa saja padahal sebenarnya sudah pernah bahkan sering berzina. Ironisnya banyak orang menganggap hal itu tidak tabu lagi. Berzina bukan saja hal yang ehem-ehem saja. Ada zina-zina ringan, zina mata, zina lidah, zina telinga dll. Tapi sebab hal ringan itu lah yang akan menjadi berat.
Ayah Gadis : Hmm. Kamu ini omongannya muter-muter dan semakin memperumit saja. Beruntung kamu masih teman sekolah anakku. Kalau orang lain, sudah dari tadi saya tempeleng mukamu. Begini nak, Tapi kalau tidak ada uang, bagaimana kamu akan memberi dia makan??
Pemuda : Hehe. Bapak. lupakah Bapak dengan apa yang telah Allah pesankan pada kita.
“Dan menikahlah orang-orang bujang (pria dan perempuan) dari kalangan kamu, dan orang-orang yang sholeh dari hamba-hamba kamu, pria dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka. sesungguhnya karunia Allah Maha luas (rahmat dan karunianya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur 32).
Apakah kita tak yakin dengan apa yang Allah janjikan. Bapak dan Ibu juga pernah lah menjadi muda. Masalah datangnya harta, selagi kita terus berusaha itu adalah Rahmat-Nya yang sudah ditakdirkan pada tiap-tiap hamba-Nya. Lagipula pak, kalau makan dan minum itu Insya Allah, saya sanggup untuk memberikannya. Tempat tinggal bisa kita bicarakan lagi. Kalau hal ini bisa menghalangi kami dari melakukan dosa dan sia-sia. Apakah tidak lebih baik disegerakan. Bapak pun tak mau hal-hal tak tidak diinginkan terjadi.
Bapak si Gadis Diam tanpa kata, merenung kata – kata si pemuda, berusaha memikirkan cara untuk mematahkan kata-kata si Pemuda. Dan ayah si gadis mendapat akal.
Ayah Gadis : kamu tahu lah zaman sekarang ni. Kalau mengikuti cara kamu itu. Mungkin kamu tidak suka dengan acara persandingan yang mewah, Bapak bisa terima. Tapi kamu apa bisa menerima apa yang akan orang-orang katakan. Orang akan mengatakan anak aku ‘kecelakaan’ dan terpaksa menikah dengan kamu. Mau ditaruh dimana muka ini.
Pemuda : Bagus juga pikiran bapak itu. Kalau ‘kecelakaan’ mana mau saya menikahi anak bapak. Karena akan selamanya menjadi haram, orang yang zina tidak akan pernah menjadi halal sekalipun dengan pernikahan. Kalau bapak memaksa ya sudah. Bisa ikut nikah masal kan bagus juga bisa berhemat tapi tetap ramai.
Ayah Gadis : serius lah nak!
Pemuda : Begini pak, sekali lagi rasanya tidak perlu membayar puluhan juta dan mahar yang berlebihan sehingga memaksa diluar kemampuan. Tapi saya tak mengatakan tidak ada walimatul urs. Sedang walimatul urs itu tetap perlu dan disesuaikan dengan kemampuan. itu cara islam. Saya bukan hendak macam-macam dengan bapak. Syariat memang seperti itu. Maha baiknya Allah sebab masih menjaga kita selama ini, tapi hal sepele seperti ini pun kita masih memandang ringan dan kita tak percaya dengan apa yang telah Allah janjikan.
Saya benar-benar minta maaf kalau ada kata-kata saya yang membuat bapak tidak senang terhadap ucapan saya. Tidak juga bermaksud tidak ta’dzim dengan bapak dan ibu. Segalanya kita serahkan pada Allah, kita hanya bisa merencanakan saja.
Azan dzuhur berkumandang, jaraknya tidak sampai 10 rumah dengan rumah si gadis. Si pemuda memohon untuk ke surau dan mengajak bapak si untuk pergi bersama. Namun ajakan ditolak dengan lembut. Lantas sang pemuda memberi salam dan memohon untuk keluar.
Di pinggir jendela tua si gadis melihat si pemuda mengeluarkan kopiah dari sakunya dan segera di pakainya untuk memenuhi panggilan Allah.
Sedang si gadis yang sedari tadi berdiri di balik tirai bersama ibunya meneteskan air mata mendengar curahan kata-kata si pemuda terhadap ayahnya. Kerudung lebar pemberian si pemuda sebagai hadiah padanya yang lalu digenggam erat. Ibu si gadis juga meneteskan air mata melihat pada perilaku anaknya. Segera ibu dan si gadis ke ruang tamu menghadap ayahnya.
Ibu Gadis : Apa yang anak itu katakan benar. Kita ini tak pernah memperhatikan syariat-syariat agama selama ini. Terlalu melihat dunia, adat dan apa kata orang. Padahal mereka tak pernah juga peduli pada kita.
Ayah Gadis : Hmm.. entahlah, ayah tak tahu. Begitu keras yang anak itu katakan tadi. Terserah kamu aja nak mau diterima atau tidak.
Kemudian si gadis menggapai telepon genggamnya dan mengetik pesan.
Si Pemuda yang selesai mengambil wudhu tersenyum saat membaca pesan yang baru saja diterima dari si gadis,
“Andai Allah telah memilih dirimu untukku, aku ridho dan akan terus bersamamu, apapun yang ada pada dirimu dan yang kamu miliki, aku juga akan terus pada agama yang ada padamu. Minggu depan ayah menyuruh kirim rombongan (lamaran) untuk ke rumah.“
***
Terkadang kisah seperti diatas masih saja sering terjadi. Wahai kalian pemuda dan pemudi yang dirahmati Allah, jika kalian merasa telah mampu dan yakin untuk menikah. maka segerakanlah. Sungguh- sungguh merugi orang yang menunda-nunda terhadap rahmatnya Allah.
Sumber:kabarmakkah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar